Huta Siallagan
Huta Siallagan |
Akan halnya adat-istiadat dan hukum (adat) Batak merupakan peninggalan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun untuk mengatur atau menata kehidupan dan pergaulan orang Batak didalam (bona pasogit) atau diluar daerah asalnya (parserahan).
Batu kursi (persidangan dan eksekusi) adalah salah satu bukti peninggalan sejarah terdapatnya hukum Batak di huta Siallagan. Batu kursi di huta Siallagan ditempatkan pada dua lokasi sesuai dengan aturan dan fungsinya yang berbeda.
Kelompok Batu kursi pertama, dibawah pohon kayu Habonaran, ditempatkan di tengah huta Siallagan yang dipergunakan sebagai tempat rapat-pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di huta Siallagan dan sekitarnya, juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.
Menurut penuturan para orangtua, bahwa batu kursi pertama ini terdiri dari Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari Huta/kampung Tetangga dan Para undangan, juga Datu/Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Artinya Raja Huta Siallagan tidaklah melakukan sesuatu dengan dasar “kekuasaan” semata, tetapi dilakukan secara musyawarah, mendengarkan pendapat dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur, adil dan bijaksana.
Konon, Batu Kursi pertama ini selain sosialisasi peraturan hukum adat-istiadat, juga dipergunakan untuk menetapkan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal (pembunuhan, pencurian), pelecehan/pemerkosaan dan sebagainya.Setelah melalui proses investigasi, interogasi kepada terdakwa, maka Para Pengetua Adat dan Raja dari huta tetangga memberikan usul jenis hukuman yang harus diiberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal sebagai Raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan” Siallagan yakni Hukuman Denda, Hukum Penjara (dihukum pasung) dan Hukum Mati (hukum pancung/dibunuh). Hukum denda biasanya bagi seseorang yang melakukan kesalahan ; Hukum Penjara ditetapkan bagi seseorang yang melakukan kejahatan ringan seperti pencuri, berkelahi, memfitnah; sedang Hukum Mati (dipancung) merupakan hukuman yang ditetapkan bagi seseorang yang berbuat kejahatan berat seperti Pembunuh, Pemerkosa.
Demikianlah halnya, seseorang yang didakwa melakukan kejahatan berat melalui persidangan Raja-raja ditetapkan hukuman mati (hukuman pancung), maka Raja Siallagan terlebih dahulu menanyakan kepada Datu tentang hari yang tepat dalam pelaksanaan eksekusi mati, pencarian hari eksekusi ini dilakukan melalui Parhalaan (kalender Batak). Pada hari yang ditentukan Datu dan disetujui Raja, terdakwa/penjahat berat yang telah ditahan dan tidak diberi makan kemudian dibawah ke tempat eksekusi hukuman (pancung) yakni ke kelompok batu kursi kedua, diluar kawasan batu kursi pertama.
Kelompok Batu Kursi kedua, ini terletak dibagian luar dari huta Siallagan namun masih sekitar huta. Disini terdapat juga Kursi untuk Raja, para Penasehat Raja dan tokoh adat, termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati. Penjahat dibawa oleh hulubalang raja ke tempat eksekusi dengan mata tertutup menggunakan Ulos, Raja dan para penasehat raja serta masyarakat telah berkumpul, kemudian penjahat ditempatkan diatas meja batu besar, bajunya ditanggalkan.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, atas perintah Raja, Eksekutor yang juga Datu (memiliki ilmu gaib) menanyakan keinginan permintaan terakhir dari sang penjahat. Bila tidak ada lagi, selanjutnya eksekutor menanggalkan semua pakaian dari tubuh penjahat dan mengikat tangannya ke belakang. Menurut yang empunya cerita, ditanggalkannya pakaian penjahat adalah untuk mengetahui dan menghilangkan bilamana kekuatan gaib yang dimiliki oleh penjahat. Kemudian tubuh penjahat disayat dengan pisau tajam, sampai darah keluar dari tubuhnya. Bila sang penjahat yang disayat tidak juga mengeluarkan darah, maka penjahat dibuat telanjang dan diletakkan diatas meja batu, kemudian disayat-sayat kembali bahkan air jeruk purut diteteskan kedalam luka sayatan, sehingga eksekutor yakin sang penjahat tidak lagi memiliki kekuatan gaib di tubuhnya. Eksekutor harus memastikan bahwa sang penjahat sungguh-sungguh tidak memiliki kekuatan apapun, jauh dari segala sesuatu yang berbau kekuatan magis.
Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan telungkup dengan posisi leher persis berada disisi batu, sehingga kelak bila dilakukan eksekusi, sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Selanjutnya Sang Datu, dengan membacakan mantra-mantra kemudian mengambil pedang yang sudah tersedia, dengan sekali tebas, kepala penjahat dipenggal hingga terpisah dari tubuhnya. Untuk mengetahui apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu kemudian menancapkan kayu“Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan cawan. Hati dan jantung penjahat dicincang dan kemudian dimakan oleh Raja dan semua yang hadir, darahnya juga diminum bersama.
Masih menurut cerita, Bagian Kepala dibungkus dan dikubur ditempat yang jauh dari huta Siallagan, biasanya tempat yang tidak pernah disentuh oleh manusia, sementara bagian badannya dibuang ke danau. Menurut kepercayaan mereka dahulu, bahwa memakan bagian tubuh penjahat adalah menambah kekuatan dari mereka yang memakannya. Percaya atau tidak, ini hanya cerita yang terjadi masa dulu, hingga diawal abad ke 19. Dalam suasana seperti itu Sang Raja memerintahkan agar masyarakat tidak boleh menyentuh air danau selama satu sampai dua minggu, karena air masih najis dan berisi setan.
Beberapa waktu kemudian zaman kegelapan berakhir, hingga masuknya agama Kristen ke tanah Batak oleh Pendeta Jerman Dr.I.L.Nommensen, penerapan hukuman pancung seperti diceritakan tidak lagi dilaksanakan bahkan sudah dihapuskan termasuk ilmu-ilmu gaib/kebathinan semakin ditinggalkan, karena masyarakat sudah memeluk Agama, dan bila terjadi kejahatan dan kriminal, selain mempergunakan hukum adat juga dipergunakan hukum Negara (hukum pidana, hukum perdata)
Bilamana cerita ini dimasa kini kemudian dianggap sebagai sebuah cerita yang menimbulkan opini bahwa orang Batak adalah kanibalisme, boleh saja demikian karena zaman dahulu ratusan tahun yang lalu kehidupan primitif Batak sudah pasti sangat berbeda dengan Batak zaman modern sekarang ini. Namun cerita itu tidak perlu ditutup-tutupi agar kedepan dapat ditarik hikmah, makna dan arti positif masa lalu. Sejarah, adalah masa lalu yang dijadikan cermin bagi masa depan.
Sebagai tambahan informasi, bahwa dibagian utara Huta Siallagan, yakni di Parhapuran terdapat juga batu kursi yang dipergunakan untuk tempat pertemuan dari turunan marga Siallagan yang lain. Lokasi ini sudah direhabilitasi oleh Pemkab Samosir dan menjadi salah satu objek kunjungan wisatawan.
Selain objek budaya, huta Siallagan berada pada lintasan jalan antara huta Ambarita menuju Tuktuksiadong, dan bila melalui kapal penumpang umum melalui pelabuhan/dermaga kapal dan gapura-pintu gerbang yang telah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Samosir sebagai tambahan fasilitas akses menuju huta Siallagan Pulau Samosir.
Artikel ini memberikan wawasan terbaru buat saya, wacana pembahasan ini sangat bermanfaat.
BalasHapusterima kasih sudah berkunjung Obat Herbal Jerawat :)
Hapus